Iseng-iseng bongkar lemari buku, aku menemukan sebuah kotak berwarna merah dan bermotif bunga-bunga kecil di sudut kanan rak buku paling bawah. “Masih cantik nih kotak” gumamku, sambil tersenyum. Hasratku sudah tak sabar ingin melihat kembali isinya. Maka, segeralah aku berlari ke kamar sebelah, dan kemudian mengusap-usap lemari yang ada disitu. Aha, segera ku ambil kunci-kunci yang tergantung ramai di satu mainan berbentuk strawberry. Setelah kunci tersebut berpindah ke tanganku, aku pun bergegas kembali berlari ke dalam kamar tempat lemari buku tadi. Setelah membuka kotak merah tersebut, aku makin tersenyum. Saat itu kulihat diary-diary usangku masih tersusun rapi di dalamnya.
Ah, kira-kira sudah 2 tahun aku tidak membuka kotak ini. Hmm, lama juga ya. Tapi untung, isinya masih bagus. Tidak ada hama ataupun kutu-kutu bandel yang menyerangnya. Alhamdulillah.
Setelah meneliti satu persatu diary yang kini telah berserakan di depan aku duduk. Mataku pun tertuju pada satu diary berwarna biru. Aku pun terkesima, seketika pikiranku pun mulai menerawang. Seperti menelusuri ruang waktu dan kembali ke masa lalu, anganku pun mulai melayang jauh. Cusss… sepertinya barusan badanku telah berbalik dan terbang mengikuti alur pikiranku, sehingga khayalanku telah membawaku lagi ke masa itu.
Saat lembaran demi lembaran diary tersebut berhasil ku lahap sedikit demi sedikit, aku makin membawa jiwaku terbang ke masa sekolah dulu. Aku sengaja mencoba membacanya lebih pelan-pelan, demi meresapi kembali masa itu. Sedikit pun rasanya tidak rela, jika harus kelewatan momen-momen berharga tersebut. Lebay sedikit yah, tapi benar, aku ingin mengingatnya kembali, sangat ingin mengingatnya. Kemudian mencoba merasai kembali rasa apa yang pernah terjadi saat itu.
Yogi, teman dekatku waktu SMA. Rasanya dia telah menjadi penghuni untaian cerita hidup yang pernah ku tulis di diary ini. Yogi bukan pacarku. Siapapun yang berani mengatakan dia pacarku, pasti akan aku marahi. Bukan karena tidak suka, bukan karena dia orang yang jahat. Tetapi karena dia Sahabatku. Tidak pernah terlintas di fikiran ku sedikit pun untuk pacaran dengan Yogi. Karena bagiku rasa sayang tidak harus dengan pacaran. Tetapi akan jauh lebih indah jika rasa itu tetap dibalut dengan kasih persahabatan. Sebuah persahabatan jauh lebih indah dari pada pacaran. Itulah menurutku, belum tentu menurutmu. Hihi
Mencoba menerawang kembali, “seperti apa ya wajah Yogi sekarang?” perlahan rasa rindu pada sahabatku itu mulai bergelayut di hati dan pikiranku. Sudah hampir dua setengah tahun aku tidak pernah lagi tahu kabar Yogi. Setelah tamat dari SMA kita memang langsung pisah kota. Aku kuliah masih di kota yang sama dengan SMA ku, sementara Yogi sudah terbang jauh, mengikuti keinginan orangtua nya untuk kuliah di Kalimantan. Selama beberapa bulan, aku masih ada kontak dengan Yogi, setelah itu tidak pernah lagi. Sejak terakhir kali dia memberi kabar kalau di daerahnya tersebut tidak bisa menggunakan kartu yang sama. Namun besar harapanku, Yogi masih akan menghubungiku. Tetapi, nyatanya tidak. Sejak itu nomornya tidak aktif. Rumahnya juga sudah kosong, kabarnya orang tuanya telah pindah juga. Aku tidak sempat menanyakan kontak yang bisa dihubungi disana. Jadi Yogi benar-benar seperti hilang di telan waktu. Hari-hari setelah kejadian itu aku selalu berharap Yogi akan menghunbungiku, dan pernah juga aku berusaha mencarinya lewat jejaring social, tetapi hasilnya tetapi nihil. Hingga perlahan aku pun mulai melupakannya seiring perjalanan masa, aku sudah sibuk dengan dunia baruku, yaitu dengan masa-masa kuliah.
Dan kini, aku sangat ingat kembali dengan Yogi. Dulunya, ibarat kunci dengan gantungannya. Dimana-dimana dan kemana-mana aku dan Yogi selalu bersama. Mulai dari pergi ke sekolah bareng, pulang sekolah juga selalu bareng. Meskipun jarak rumah kami sedikit lebih jauh, tetapi Yogi adalah sahabat yang setia. Dia tidak pernah bosan untuk mengantarkanku tiap hari. Tidak hanya itu, sepulang sekolah, bila ada waktu kosong kita juga sering pergi main bareng, jalan-jalan bersama di akhir pekan, belajar bersama, ke toko buku bersama. Hampir setengah hari habis untuk bersama. Tentu bisa dibayangkan begitu banyak cerita indah, ataupun haru yang akan terjadi pada kita. Diary ini saja tidak cukup untuk menceritakan semua yang pernah terjadi itu. Tetapi cukup lah, setiap goresan yang ada di diary ini benar-benar cerita murni persahabatan aku dengan Yogi.
Satu hal yang membuat aku makin kangen Yogi adalah, ketika ingat waktu dia diam-diam mencuri diary ini dan setelah membaca semuanya, dia mengembalikan diary ini sambil menertawaiku. Hingga membuat malu, dan mengejarnya untuk menjitak kepala setengah botaknya. Awalnya Yogi memang tidak pernah tahu kalau aku suka menulis diary tentang aku dan dia. Apalagi waktu itu Yogi, sok-sok terharu dan menyebutkan isi diary tersebut dengan muka sok memelas, padahal dia Cuma becanda. Aku pun jadi geli melihat tingkahnya tersebut, sehingga kembali mengejarnya dan mencubitnya sambil tertawa-tawa. Ah, begitu lah Yogi.
Bagaimanapun aku merindukannya saat ini, apa dayaku. Aku hanya bisa mengulas wajah lamanya, dan ku rasa sekarang Yogi pasti sudah berubah. Tidak botak lagi. Senyum terakhirku saat menutup lembaran diary ini diiringi dengan butiran bening yang tidak bisa kutahan lagi. Aku sengaja merebahkan badanku dan mencoba menikmati rasa rindu ini, hingga aku pun terlelap dan tertidur. “Yogi, semoga suatu saat kita dipertemukan kembali” harapan terbesar, kusandarkan pada-Nya.
0 comments:
Post a Comment